Suku Baduy: Sejarah, Asal Usul Hingga Fakta Menarik

Suku baduy

Suku BaduySebagai negara yang membanggakan kekayaan seni dan budayanya, Indonesia memiliki beragam suku yang menghuni berbagai penjuru Nusantara. Salah satu suku yang menarik perhatian adalah suku Baduy, yang tinggal di sebuah desa yang terletak di Kabupaten Lebak, Banten, yang dikenal sebagai Kanekes.

Suku Baduy atau urang Kanekes merupakan komunitas yang memegang teguh tradisi dan kearifan lokal. Dengan populasi sekitar 26.000 jiwa, mereka terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam, yang memiliki perbedaan dalam sistem kehidupan dan tradisi mereka.

Adapun perbatasan kedua wilayah ditandai dengan sebuah gubuk yang terbuat dari bambu, yang memiliki makna penting bagi orang Baduy Dalam sebagai tempat beristirahat saat mereka beraktivitas pertanian di ladang. Keberadaan perbatasan ini mencerminkan kedalaman kehidupan sosial dan budaya suku Baduy yang telah ada sejak lama.

Sejarah Suku Baduy

Sejarah suku Baduy memiliki keterkaitan yang erat dengan unsur-unsur keagamaan dan mitologi. Berdasarkan penuturan dalam buku “Soul Travel in Baduy: Mencari Jejak Diri di Tanah Baduy” karya Eni Martini, Masyarakat Baduy meyakini bahwa mereka merupakan keturunan Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa yang diutus ke Bumi.

Asal-usul suku Baduy juga sering dikaitkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama mereka. Keyakinan mereka mengatakan bahwa Nabi Adam dan komunitas Baduy memiliki tugas suci dalam menjaga harmoni dunia melalui kegiatan bertapa atau mandita.

Sejarah suku Baduy juga tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Kerajaan Pajajaran. Pada abad ke-11 dan 12, Kerajaan Pajajaran menguasai wilayah Banten, Bogor, Priangan, dan Cirebon. Pada masa itu, Raja Prabu Bramaiya Maisatandraman atau Prabu Siliwangi memimpin kerajaan tersebut.

Pada abad ke-15, agama Islam masuk ke wilayah tersebut melalui pedagang dari Gujarat dan Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Songo yang berasal dari Cirebon. Dampak kedatangan agama Islam menyebabkan Kerajaan Pajajaran mengalami kemunduran karena sebagian besar rakyatnya memeluk agama baru tersebut.

Akibatnya, raja, panglima perang, dan para pengikutnya meninggalkan kerajaan dan memasuki hutan belantara di sebelah selatan, mengikuti aliran sungai. Mereka meninggalkan tempat asal mereka, seperti yang diabaikan dalam pantun upacara suku Baduy.

Keturunan mereka hingga saat ini tinggal di Kampung Cibeo, yang dikenal sebagai orang suku Baduy Dalam. Masyarakat Baduy Dalam terkenal dengan pakaian tradisional mereka, seperti baju sangsang putih yang dijahit secara manual, ikat kepala putih, dan sarung tenunan biru tua yang mereka buat sendiri. Baduy Dalam tetap mempertahankan prinsip hukum adat dan memegang teguh kearifan lokal mereka.

Asal Usul Suku Baduy

Berdasarkan informasi yang dikutip dari laman resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud), sejarah suku Baduy Dalam dapat ditelusuri hingga legenda tentang Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa yang turun ke bumi. Batara Cikal memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan dunia.

Dalam perspektif suku Baduy Dalam, mereka juga mengaitkan asal-usul mereka dengan Nabi Adam, sosok yang dianggap sebagai leluhur pertama mereka. Meski demikian, para sejarawan menawarkan sudut pandang alternatif yang didasarkan pada temuan-temuan prasasti sejarah, catatan-catatan pelaut dari bangsa Portugis dan Tiongkok, serta keterkaitannya dengan mitologi dan cerita rakyat seputar Tatar Sunda.

Menurut para ahli sejarah, terdapat hubungan antara masyarakat Baduy (Kanekes) dengan Kerajaan Pajajaran pada sekitar abad ke-16, ketika Kesultanan Banten belum berdiri. 

Pada waktu itu, masyarakat Baduy memiliki wilayah yang strategis, dan Pangeran Pucuk memerintahkan pasukan prajurit terpilih untuk menjaga Gunung Kendeng-Sungai Ciujung agar tetap terjaga kelestariannya. 

Namun, pada tahun 1982, Van Tricht mengunjungi Baduy dan mengemukakan versi ketiga yang tidak menyetujui kedua pendapat sebelumnya.

Menurut Van Tricht, masyarakat Baduy telah lama tinggal di wilayah itu dan mereka adalah masyarakat asli yang sangat menjaga budaya nenek moyang mereka. 

Pendapat ini sejalan dengan pandangan Danasasmita dan Djatisunda (1986:4-5), yang menyatakan bahwa di masa lalu terdapat seorang raja bernama Rakeyan Darmasiska yang memerintah di sekitar wilayah Baduy.

Raja ini menginstruksikan masyarakat Baduy untuk merawat Kabuyutan (tempat pemujaan nenek moyang) dan menganggap kawasan tersebut sebagai tempat yang suci atau mandala.

Ciri-Ciri Suku Baduy

Ciri khas Suku Baduy dapat dilihat dari gaya hidup mereka serta warisan budaya yang masih terlihat hingga sekarang. Salah satu ciri khasnya adalah rumah adat yang disebut Sulah Nyanda, rumah adat ini dibangun menggunakan dari bambu, kayu yang ditutupi dengan atap yang disebut dengan ijuk atau rumbia, rumah sula nyanda tersebut memiliki bentuk seperti panggung..

Adapun suku baduy sendiri terdapat 2 kelompok yaitu baduy luar dan baduy dalam.

Baduy Dalam tetap memegang teguh tradisi dan adat istiadat mereka, dengan menolak penggunaan teknologi serta menjaga gaya hidup speninggalan nenek moyang mereka.

Jika diperhatikan, dalam kehidupan sehari-hari, terdapat perbedaan Suku Baduy Dalam dan suku baduy luar.dimana baduy dalam lebih sering mengenakan pakaian berwarna putih serta menggunakan ikat kepala, mencerminkan kesucian.

sedangkan baduy luar lebih terbuka dengan perkembangan zaman, mereka dapat menggunakan teknologi dan mengadopsi gaya hidup masyarakat modern.

Saat menjalani kehidupan sehari-hari,Baduy Luar sering mengenakan pakaian berwarna hitam lengkap dengan ikat kepala biru.

Masyarakat Suku Baduy, terutama Baduy Dalam, mayoritas bermata pencaharian sebagai petani atau penggarap ladang, serta memelihara ternak.

Orang Baduy memiliki keahlian khas dalam menenun. Para perempuan Baduy sangat terampil dalam hal menenun .dimana kain yang digunakan ada dua jenis yaitu kain halus yang dibuat untuk pakaian sementara kain kasar digunakan untuk ikat kepala dan ikat pinggang.

Selain itu, Suku Baduy juga membuat tas dari kulit pohon terep yang disebut koja atau jarog, yang digunakan untuk membawa peralatan sehari-hari.

Sistem kepemimpinan Baduy terdiri dari tiga posisi penting. Pemimpin suku Baduy disebut Pu’un, asisten pemimpin disebut Jaro, dan pemimpin adat dikenal sebagai Kejeroan. 

Kepercayaan Masyarakat Suku Baduy

Kadang-kadang kita mengira bahwa Suku Baduy mempunyai keyakinan beragama Islam. Namun, faktanya mereka tidaklah menganut agama apapun yang diakui oleh pemerintah.

Seperti kebanyakan suku lainnya, masyarakat Baduy atau Kanekes menganut kepercayaan yang berasal dari leluhur mereka. Mereka menyembah kekuatan alam serta nenek moyang yang diwarisi melalui ajaran Sunda Wiwitan.

Menurut ajaran Sunda Wiwitan, terdapat tiga alam, di mana dua di antaranya dihuni oleh manusia. Alam pertama disebut Buana Nyungcung, yang merupakan tempat kediaman Sang Hyang Kersa. 

Alam kedua Buana Panca Tengah, yang menjadi tempat tinggal bagi manusia yang masih hidup. Terakhir, terdapat Buana Larang, yang merupakan neraka tempat orang-orang jahat menerima siksaan setelah meninggal dunia.

Sama seperti agama-agama lainnya, masyarakat Baduy juga memiliki kitab suci, tempat ibadah, dan doa-doa yang mereka lantunkan. 

Dalam menjalankan ibadah, orang-orang Suku Baduy pergi ke Pamunjungan yang terletak di daerah perbukitan. Di sana, mereka melantunkan kidung atau nyanyian sambil melibatkan gerakan tari tertentu.

kitab sanghyang siksa kandang karesian merupakan nama kitab yang menjadi pegangan hidup masyarakat baduy. Didalam kitab tersebut terdapat ajaran-ajaran dari nenek moyang mereka. 

Fakta Menarik Suku Baduy

Suku Baduy memiliki tradisi-tradisi unik yang menjadi ciri khas mereka. Berikut beberapa tradisi tersebut.

Rumah tidak mencerminkan status sosial

Di Suku Baduy, rumah adat memiliki bentuk yang hampir serupa dan tidak ada hubungannya dengan status sosial. Namun, ada perbedaan yang mencolok dalam hal perabotan yang terbuat dari kuningan. Jumlah perabotan kuningan yang dimiliki oleh sebuah keluarga menjadi penanda status sosial mereka. 

Perjodohan

Tradisi perjodohan di Suku Baduy dilakukan ketika seorang gadis mencapai usia empat belas tahun. Pada periode tersebut, orang tua pemuda masih memiliki kebebasan untuk memilih calon pasangan yang mereka sukai. Namun, jika tidak ada calon yang cocok, semua pihak harus bersedia untuk menjalani perjodohan yang diatur oleh orang tua atau pemangku adat.

Jalan Kaki

Masyarakat Suku Baduy suka berjalan tanpa alas kaki, bahkan dalam perjalanan yang jauh. jauh sekalipun, mereka tetap memilih untuk berjalan kaki dan enggan menggunakan transportasi apapun. Mereka melakukan ini sebagai bagian dari prinsip hidup mereka untuk hidup selaras dengan alam.

Sistem kekerabatan wilayah

Suku Baduy memiliki sistem kekerabatan yang berbasis wilayah tempat tinggal. 

Keterikatan kekerabatan terlihat melalui tiga wilayah, yaitu Kampung Tangtu, Kampung Panamping, dan Pajaroan.

Di Desa Baduy, seluruh wilayah dianggap sebagai “Tangtu Teulu Jaro Tujuh” yang berarti seluruh penduduk di Kanekes Baduy adalah satu keluarga yang berasal dari nenek moyang yang sama. 

Perbedaan nya terletak pada generasi, di mana orang Cikeusik dianggap yang tertua, Cikertawana yang menengah, dan Cibeo paling muda.

Kawalu

Kawalu merupakan tradisi masyarakat baduy yang mana mereka melakukan puasa selama tiga kali dalam tiga bulan. Selama kawalu tiba, untuk para wisatawan hanya diperbolehkan mengunjungi baduy luar saja dan dilarang untuk menginap disana

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *